Selasa, 11 Desember 2012

Flu Burung Terhadap Budaya Makan ikan

Di balik wabah flu burung yang kini melanda, ternyata ada sisi positif yang bisa diambil, yakni dorongan terhadap permintaan ikan diperkirakan akan meningkat. Paling tidak akan membantu pemerintah yang saat ini menargetkan tingkat konsumsi ikan per kapita sebesar 30 kg/tahun pada tahun 2006. Saat ini, konsumsi ikan per kapita kita hanya sekitar 22 kg/kapita yang masih jauh bila dibandingkan Maldive (203), Islandia (90), Norwegia (51), Hongkong (54), dan Jepang (64). Bahkan, negera-negara ASEAN pun sudah mulai meninggalkan kita. Lihat Thailand (28), Malaysia (57), dan Filipina (29).
Mengapa konsumsi ikan perlu ditingkatkan?
Paling tidak ada tiga hal. Pertama, faktor biologis, mengingat umumnya ikan mengandung protein yang dibutuhkan kesehatan manusia. Tidak disangka kalau ternyata ikan teri juga mengandung kalsium yang ampuh mencegah osteoporosis. Juga karena ikan mengandung omega 3 yang dapat membantu meningkatkan kecerdasan anak. Bangsa-bangsa yang cerdas umumnya memiliki konsumsi ikan perkapita yang relatif tinggi. Kedua, faktor ekonomi, yakni agar permintaan terhadap produk ikan meningkat. Dengan meningkatnya permintaan dapat merangsang meningkatnya penawaran, yang berarti makin tumbuhnya usaha perikanan, terserapnya tenaga kerja, serta segudang multiplier effiyt lainnya. Ketiga, faktor sosial budaya, yakni mempertahankan identitas bangsa kita sebagai bangsa bahari. Bagaimanapun konsumsi ikan merupakan bagian dari identitas bangsa kita. Akan tetapi, pertanyaannya adalah mengapa tingkat konsumsi ikan kita masih rendah, dan bagaimana upaya peningkatannya?
Rendahnya Tingkat Konsumsi Ikan
Ada beberapa variabel yang ternyata menyebabkan rendahnya minat masyarakat kita untuk makan ikan. Pertama, problem sosiologis. Ini terjadi kepada masyarakat pesisir di mana kegiatan perikanan dominan, seperti di Pekalongan hingga akhir 1990-an. Di kalangan masyarakat pesisir, pola makan ternyata ada kaitannya dengan status sosial. Semakin sering orang makan daging (red meat) maka semakin tinggi pula status sosialnya sehingga orang berlomba-lomba untuk mengonsumsi daging hanya karena status sosial. Tidak peduli dengan tingginya kandungan kolesterol. Sebaliknya, orang berusaha untuk mengurangi konsumsi ikan juga hanya karena mungkin dianggap sebagai orang berstatus sosial rendah. Hal ini karena memang marga ikan di daerah pesisir waktu itu sangatlah murah. Sebagai contoh, ikan teri meskipun menjadi sumber kalsium, orang enggan mengonsumsinya karena persoalan gengsi.
Kedua, problem ekonomi, yakni rendahnya daya beli masyarakat. Ini umumnya terjadi kepada masyarakat yang secara geografis tinggal di wilayah pedalaman (up land) dan jauh dari laut. Harga ikan lautnya relatif lebih tinggi. Bahkan, bisa dua kali lipat dari Pekalongan. Dengan tingginya harga ikan maka hanya orang berpenghasilan lebih tinggi yang lebih berpeluang sering mengonsumsi ikan segar sehingga secara sosiologis pun fenomena di daerah ini berkebalikan dengan daerah pesisir. justru orang yang sering mengonsumsi ikan yang akan memiliki status sosial tinggi. Lihatlah, restoran seafood saat ini jauh lebih bergengsi dari pada restoran biasa. Meskipun demikian, apa yang terjadi di daerah pedalaman, kini sudah mulai menular ke wilayah pesisir. Kini, telah berkembang pula persepsi bahwa makan ikan kecintaan anak terhadap laut dan ikan. Meskipun demikian, kampanye tersebut juga harus diiringi dengan “keteladanan” dari para petinggi bangsa ini, yang dalam acara-acara kenegaraan sebisa mungkin menghidangkan menu-menu ikan. Meskipun harus diakui bahwa kampanye ikan seperti itu tidak cukup tanpa diiringi dengan meningkatnya daya beli (purchasing power) masyarakat.
Kedua, dari sisi penawaran,yakni bagaimana mengupayakan ketersediaan ikan (baik dalam bentuk mentah maupun olahan) dalam jumlah cukup dengan harga terjangkau. Di sini memang ada konflik kepentingan antara memenuhi pasar domestik dan pasar ekspor. Tentu kedua pasar tersebut tidak perlu dipertentangkan meskipun tampak bahwa kecenderungan untuk berpihak pada ekspor lebih tinggi dari pada keperluan domestik. Ketika booming udang di tahun 1990- an, pemerintah membuat keputusan untuk menghilangkan pajak dan berbagai pungutan lainnya terhadap industri udang yang herorientasi ekspor. Sementara perikanan rakyat yang umumnya untuk keperluan konsumsi domestik masih dikenakan berbagai pungutan. Di sini terlihat bahwa di tahun 1990-an, visi peningkatan konsumsi ikan belum tampak. Oleh karena itu, pemerintah sudah saatnya mulai memikirkan pentingnya pasar domestik, sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas gizi masyarakat dan mengembalikan identitas sebagai bangsa bahari yang memiliki pola pangan khas. Selain masalah pasar tersebut, sisi penawaran juga masih diwarnai dengan struktur pasar yang oligopsoli dan rantai pemasaran yang panjang. Akihatnya, di satu sisi harga ikan di tingkat konsumen relatif tinggi, sementara di sisi lain nelayan tetap saja miskin. Seharusnya, dengan harga ikan yang tinggi nelayan akan semakin sejahtera. Ironi semacam itu terjadi karena selama ini memang rantai pemasaran ikan sangatlah panjang sehingga margin pemasaran jatuh berceceran di sekian banyak rantai. Jadi, tingginya harga ikan tersebut selama ini dinikmati oleh segelintir pedagang, dan bukan nelayan. Dalam konteks meningkatkan akses masyarakat terhadap konsumsi ikan, sudah sepatutnya rantai pemasaran tersebut diperpendek agar sebagian margin bisa dinikmati nelayan serta harga ikan di tingkat konsumen bisa menurun.
Pustaka: Ekologi politik nelayan Oleh Arif Satria

Tidak ada komentar:

Posting Komentar